Anak memeluk kucingnya terlalu kencang? Bisa
jadi ini merupakan ekspresi senang yang tak terkendali. Tapi, ada juga yang
patut di waspadai, pahami lebih dalam.
Anak yang senang menyakiti binatang dibagi
atas 2 kategori usia. Yakni, usia di bawah 5 tahun, dan usia sekolah dasar.
Jika perbuatan menyakiti binatang dilakukan anak usia preschool (2 – 3 tahun)
umumnya mereka bukan menyakiti binatang. Menurut tahap tumbuh kembangnya,
perilaku ini hanya bagian dari agresifitas atau ekspresi gemas terhadap hewan.
Misalnya, ketika seorang anak melihat kelinci atau anak anjing, mereka
mengekspresikan rasa suka dan gemasnya dengan memeluk hewan itu terlalu
kencang. Agresifitas ini dilakukan karena mereka belum memiliki kemampuan
berpikir yang memadai dan rasa empatinya terbatas sehingga ekspresi gemasnya
menjadi tak terkendali. Ketika anak merasa gemas dengan hewan, ia merasa perlu
memperlakukan hewan itu dengan cara tertentu, tapi ia tidak sadar kalau caranya
bisa berdampak melukai hewan.
Selain itu, energi anak ternyata besar dan
kuat, tapi kemampuan mengendalikannya yang terbatas. Penyebabnya karena kemampuan
berpikirnya yang belum memadai tadi. Jadi menyesuaikan antara gemas dan
kekuatan fisiknya masih kurang. Pelukan terlalu kencang itulah yang kemudian
terkesan menyakiti hewan, padahal tidak.
Lantas apa yang harus dilakukan orang tua
ketika melihat anaknya di usia ini melakukan kekerasan pada hewan? Lakukanlah
hal berikut ini:
§ On the spot : Orang tua memberi peringatan dan
mengajak anak secara langsung ketika ia salah memegang hewan. Misalnya, “Eh,
nggak begitu caranya. Nanti anjingnya kesakitan,”
§ Sentuhan sayang : Katakan kepada anak bahwa
hewan juga makhluk hidup yang juga harus dijaga dan disayang. Ajarkan kepada
anak bagaimana caranya menyayangi binatang secara fisik. Contohnya, ambil
tangan anak dan ajak ia menyentuh binatang dengan cara menyentuh atau memberi
usapan sayang.
§ Pilih kosa kata : Jangan pernah katakan pada
anak, “Kelincinya jangan dicekik.” Di usia sedini ini anak belum mengerti apa
itu arti kata “cekik”. Jadi perhatikan unsur kata yang akan Anda sampaikan
kepada anak.
§ Konseksuensi : Bantu anak membangun perasaan
tentang apa itu rasa sakit, juga ajarkan konsekuensi apa yang akan terjadi jika
ia menyakiti binatang. “Nanti kalau binatangnya kesakitan dia bisa mati.”
Yang perlu diingat oleh orang tua adalah fase
ini merupakan fase pertama anak belajar, bagaimana memperlakukan dan
bertanggung jawab terhadap binatang. Di kemudian hari, hal ini bisa membantunya
bertanggung jawab kepada dirinya sendiri.
Manifestasi Balas Dendam
Fase berikutnya berkembang pada anak di usia
yang lebih dewasa lagi, yakni di usia sekolah dasar. Di usia ini, alasan anak
suka menyakiti binatang biasanya lebih kompleks. Yaitu karena temperamental
yang agresif. Memang, ada beberapa anak yang memiliki temperamen “sulit” atau
keras sejak awal, sehingga suka sukar ditangani. Artinya, agresifitasnya
merupakan bawaan sejak lahir. Sifat agresif ini juga berbeda pengaplikasiannya
antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Pada umumnya, agresivitas anak
lelaki lebih bersifat fisik, sedangkan anak perempuan lebih ke verbal. Jika
bukan karena faktor bawaan, dorongan agresif bisa di sebabkan oleh
beberapa hal diantaranya:
§ Tinggal dalam lingkungan yang keras : Bapak
Ibunya tidak hanya kasar terhadap anak tapi juga pada hewan.
§ Korban agresifitas: Anak menyakiti hewan
karena manifestasi dari dorongan agresi dari pihak lain (anak korban
agresivitas). Misalnya, anak menjadi korban bully di sekolah. Disaat anak tidak
mempunyai kemampuan untuk bertahan, membalas, menyalurkan agresifitasnya secara
spontan, ia akan menyalurkan amarah atau kekecewaannya pada hierarki dominasi
(objek yang lebih rendah). Contohnya: orangtua ke anak, anak ke adiknya, atau
hewan.
§ Terpapar kekerasan fisik : Hal ini bisa
dilihat dari film atau lingkungan sekitar. Anak mungkin tidak serta merta
meniru kekerasan yang ia lihat, tapi jika terlalu sering disaksikannya, ini
akan mengubah pola skemanya tentang pemecahan masalah juga perilakunya kepada
orang lain atau dan hewan.
Anger Management
Tentunya orang tua manapun tidak menginginkan
perilaku semacam ini terjadi pada anaknya. Anda bisa membantu buah hati dari
dini untuk mengatasi dengan cara berikut ini:
§ Bantu mereka memahami apa yang membuat mereka
berlaku agresif pada hewan. “Mengapa kamu melakukan itu?” Biasanya, pada
perspektif ini mereka pasti mengatakan kalau hewannya yang bersalah.
§ Ajarkan anak kalau ada banyak cara
melampiaskan kemarahan (anger management) dengan cara yang sederhana misalnya,
”Nak, kalau kamu marah, katakan saja kamu marah.”
§ Ajarkan anak menyampaikan pesan kemarahannya
dengan cara “I message”.
§ I Message selalu dimulai dengan kata I (Saya
atau aku). Seperti, “Aku nggak suka sama kamu Bruno (nama anjing peliharaan),
karena kamu sudah gigit sendal aku!” Atau, “Kamu jangan tidur ditempat tidurku,
nanti kotor. Aku nggak suka kalau tempat tidurku kotor.”
§ Ajarkan anak kalau objek-objek yang lebih
rendah darinya bukanlah tempat pelampiasan.
§ Pahami apa masalah anak yang sesungguhnya.
Ketika anak cenderung marah, pasti dikarenakan ia sekarang sedang didalam
kondisi masalah yang tak terpecahkan. Bantu anak mengatasi masalahnya, karena
beberapa anak tak tahu cara deal dengan problem mereka atau teknik-teknik
pemecahan masalah yang tepat.
Kapan Harus Terapi?
Yang paling penting dalam kasus agresifitas
anak kemampuannya dalam mengelola kemarahan, mengendalikan atau mengontrol
kemarahan, dan mengekspresikan kemarahan. Jika control terhadap hewan saja
tidak bisa diatasi, bukan tidak mungkin anak juga akan mudah lepas kontrol dan
suka menyakiti orang disekitarnya.
Ada pengeneralisasian bagi anak. Hati-hati,
anak yang agresifitasnya tinggi seperti itu bisa mengarah pada “conduct
disorder” atau masuk dalam kategori gangguan perilaku yang mengarah pada
kenakalan anak. Namun sebelum anak-anak seperti ini dibawa keterapi, lihat dulu
seberapa besar resiko pengembangan potensi agresifitas tadi. Caranya dengan
meilhat beberapa hal berikut ini:
§ Perhatikan temperamentalnya : Anak yang
bertemperamen tinggi sejak lahir akan lebih sulit diprediksi dan sulit
dikendalikan.
§ Kecerdasan anak : Ada beberapa anak yang
kecerdasannya memang tidak memadai untuk diajarkan tentang nilai moral.
§ Kurang kasih sayang orang tua: Orang tua tidak
dekat dengan anak dan tidak ada pola komunikasi yang terbuka antara orang tua –
anak, dan anak jadi korban bully di sekolah
Jika 3 hal ini ada
pada anak Anda, disarankan untuk langsung saja membawanya ke psikolog anak
Dampingi Saat Menonton Teve
Anak yang suka menyiksa binatang tidak ada
hubungannya dengan apa yang disaksikannya di televisi. Selama setiap kali anak
menonton televise, ada supervisor yang membimbing dan mengarahkan anak,
anak boleh melihat tayangan kekerasan.
Ketika bersama-sama menonton teve terutama
untuk tayangan kekerasan, orang tua wajib menerangkan kepada anak dengan cara,
“Perilaku itu jangan kamu contoh ya. Itu tidak baik.” Atau, “Kalau di film,
penjahat mungkin bisa bebas, tapi kalau di dunia nyata yang jahat itu pasti
ditangkap polisi, diadili, terus dipenjarakan.” Atau, “Di film, hewan itu tidak
benar-benar mati. Tapi jika kamu melakukan kekerasan terhadap hewan dalam
kehidupan nyata, hewan itu bisa saja mati.”
Tambah pula wawasan anak dengan mengatakan
sejauh mana kebenaran film dan realita kehidupan secara kongkret agar ia bisa
menghayati nilai-nilai moral yang positif yang sesungguhnya. Jika tidak melalui
orang tua, dari mana anak bisa memiliki pengalaman tentang empati, pemecahaan
masalah, dan agresifitas yang tepat?
Sumber : Majalah Wanita Nova