Setiap malam, kesabaran Yuni Rahmah, 21 tahun,
benar-benar diuji. Hal ini terjadi ketika dia mendampingi Reza Yanuar,
keponakannya yang duduk di kelas I sekolah dasar, mengerjakan pekerjaan rumah
dari sekolah. Meskipun Yuni telah berupaya melambatkan tempo dalam memberi
penjelasan, tetap saja bocah tujuh tahun itu tak segera paham. “Dia bilang pelajarannya
sulit,” ucap Yuni, warga Kalideres, Jakarta Barat.
Yuni menuturkan, selain materi pelajaran yang relatif sulit, faktor yang menyebabkan hal itu adalah mata pelajaran Reza di sekolah tergolong banyak. Sedikitnya, Reza mendapat 10 mata pelajaran, antara lain Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, serta Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta. Setiap hari, Reza menerima tiga pelajaran. Belum lagi harus kerepotan karena mengerjakan dua buah PR yang membuatnya gampang kelelahan. “Setiap pagi Reza ogah-ogahan berangkat ke sekolah,” kata Yuni.
Apa yang dialami Reza merupakan bentuk penolakan bersekolah atau school refusal. Menurut Syailendra W.S., penolakan ini terjadi karena beban pelajaran. Psikiater dari Rumah Sakit Pusat Pertamina ini mengatakan kurikulum sekolah yang diterima siswa-siswa SD saat ini dinilai melebihi kewajaran usia mereka. Ketika mendaftar masuk SD, anak-anak dites kemampuan membaca, menulis, dan menghitung.
Akibat yang timbul adalah sejak taman kanak-kanak anak-anak seakan dipaksa mempunyai kemampuan menghitung dan membaca. Padahal, kemampuan ini seharusnya baru diberikan saat anak duduk di kelas I SD. Setelah duduk di bangku SD, beban anak lebih berat lagi, yang sebenarnya belum sesuai dengan kapasitas kognitif dan psikologis mereka. “Di situlah anak-anak bisa frustrasi. Sekolah dianggap sebagai beban dan sesuatu yang tidak menyenangkan,” kata Syailendra.
Kondisi ini diperparah bila orang tua memaksakan anak ikut beragam kursus. Kesempatan anak untuk bermain, bersosialisasi, dan mengembangkan kreativitasnya semakin berkurang. Syailendra pernah menangani anak kelas V SD yang mengalami situasi ini. Dari pagi hingga siang, anak tersebut melakukan aktivitas di sekolah. Sorenya, anak itu masih lanjut bergelut dengan kursus bahasa Inggris dan komputer.
Suatu hari, si anak tersebut sakit dan ketika sembuh dia tak mau lagi bersekolah. Dengan segala cara, mulai dibujuk habis-habisan, si anak tetap menolak, enggan ke sekolah. “Setelah diajak bicara, ternyata si anak merasa kewalahan dengan pelajaran di sekolah. Solusinya adalah home-schooling. Sekarang dia sudah kuliah di fakultas kedokteran,” Syailendra menceritakan.
Syailendra yakin banyak anak-anak sekolah yang sebenarnya mengalami masalah dengan beban pelajaran sekolah. Berdasarkan pengalamannya menangani pasien, jumlah anak yang mengalami hal itu sekitar 20 persen dan fenomena ini seperti gunung es. “Angka sebenarnya bisa lebih banyak,” kata dia. Perwujudan masalah itu bukan cuma penolakan ke sekolah, tapi juga bisa berbentuk lain seperti depresi, sensitif, gampang marah, bengal, memberontak, menghabiskan waktu dengan bermaingame, minder, dan anak-anak mengambil perilaku berisiko tinggi.
Kurikulum yang begitu berat dan tidak tepat yang dibebankan ke siswa merupakan sebuah kekeliruan. Pendidikan yang terjadi tidak menyentuh pembentukan mental, karakter, dan pengembangan kreativitas siswa. Yang dipacu hanya otak kiri, sementara otak kanan terabaikan. “Kalaupun kemudian hari anak jadi pintar, dia cuma pintar buat dirinya sendiri, sama sekali tidak bermanfaat bahkan merugikan masyarakat,” kata Syailendra.
Di sinilah pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Orang tua, kata Syailendra, adalah figur terdekat bagi anak yang mestinya menanamkan nilai-nilai kehidupan sedari dini. Selain itu, orang tua perlu bijaksana dalam memberikan pendidikan kepada anak. Jangan paksa anak ikut bermacam-macam kursus yang bukan minatnya.
Peran guru juga tidak kalah penting. Guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga harus berperan sebagai pendidik. “Guru harus menjadi teladan dan mengerti psikologi perkembangan anak,” ujar Syailendra.
Yuni menuturkan, selain materi pelajaran yang relatif sulit, faktor yang menyebabkan hal itu adalah mata pelajaran Reza di sekolah tergolong banyak. Sedikitnya, Reza mendapat 10 mata pelajaran, antara lain Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, serta Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta. Setiap hari, Reza menerima tiga pelajaran. Belum lagi harus kerepotan karena mengerjakan dua buah PR yang membuatnya gampang kelelahan. “Setiap pagi Reza ogah-ogahan berangkat ke sekolah,” kata Yuni.
Apa yang dialami Reza merupakan bentuk penolakan bersekolah atau school refusal. Menurut Syailendra W.S., penolakan ini terjadi karena beban pelajaran. Psikiater dari Rumah Sakit Pusat Pertamina ini mengatakan kurikulum sekolah yang diterima siswa-siswa SD saat ini dinilai melebihi kewajaran usia mereka. Ketika mendaftar masuk SD, anak-anak dites kemampuan membaca, menulis, dan menghitung.
Akibat yang timbul adalah sejak taman kanak-kanak anak-anak seakan dipaksa mempunyai kemampuan menghitung dan membaca. Padahal, kemampuan ini seharusnya baru diberikan saat anak duduk di kelas I SD. Setelah duduk di bangku SD, beban anak lebih berat lagi, yang sebenarnya belum sesuai dengan kapasitas kognitif dan psikologis mereka. “Di situlah anak-anak bisa frustrasi. Sekolah dianggap sebagai beban dan sesuatu yang tidak menyenangkan,” kata Syailendra.
Kondisi ini diperparah bila orang tua memaksakan anak ikut beragam kursus. Kesempatan anak untuk bermain, bersosialisasi, dan mengembangkan kreativitasnya semakin berkurang. Syailendra pernah menangani anak kelas V SD yang mengalami situasi ini. Dari pagi hingga siang, anak tersebut melakukan aktivitas di sekolah. Sorenya, anak itu masih lanjut bergelut dengan kursus bahasa Inggris dan komputer.
Suatu hari, si anak tersebut sakit dan ketika sembuh dia tak mau lagi bersekolah. Dengan segala cara, mulai dibujuk habis-habisan, si anak tetap menolak, enggan ke sekolah. “Setelah diajak bicara, ternyata si anak merasa kewalahan dengan pelajaran di sekolah. Solusinya adalah home-schooling. Sekarang dia sudah kuliah di fakultas kedokteran,” Syailendra menceritakan.
Syailendra yakin banyak anak-anak sekolah yang sebenarnya mengalami masalah dengan beban pelajaran sekolah. Berdasarkan pengalamannya menangani pasien, jumlah anak yang mengalami hal itu sekitar 20 persen dan fenomena ini seperti gunung es. “Angka sebenarnya bisa lebih banyak,” kata dia. Perwujudan masalah itu bukan cuma penolakan ke sekolah, tapi juga bisa berbentuk lain seperti depresi, sensitif, gampang marah, bengal, memberontak, menghabiskan waktu dengan bermaingame, minder, dan anak-anak mengambil perilaku berisiko tinggi.
Kurikulum yang begitu berat dan tidak tepat yang dibebankan ke siswa merupakan sebuah kekeliruan. Pendidikan yang terjadi tidak menyentuh pembentukan mental, karakter, dan pengembangan kreativitas siswa. Yang dipacu hanya otak kiri, sementara otak kanan terabaikan. “Kalaupun kemudian hari anak jadi pintar, dia cuma pintar buat dirinya sendiri, sama sekali tidak bermanfaat bahkan merugikan masyarakat,” kata Syailendra.
Di sinilah pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Orang tua, kata Syailendra, adalah figur terdekat bagi anak yang mestinya menanamkan nilai-nilai kehidupan sedari dini. Selain itu, orang tua perlu bijaksana dalam memberikan pendidikan kepada anak. Jangan paksa anak ikut bermacam-macam kursus yang bukan minatnya.
Peran guru juga tidak kalah penting. Guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga harus berperan sebagai pendidik. “Guru harus menjadi teladan dan mengerti psikologi perkembangan anak,” ujar Syailendra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar