Tidak
diragukan lagi bahwa keluarga merupakan salah satu konteks sosial yang penting
bagi perkembangan individu. Meskipun demikian perkembangan anak juga sangat
dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam konteks sosial yang lain seperti relasi
dengan teman sebaya. Laursen (2005 : 137) menandaskan bahwa teman sebaya
merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa
remaja. Penegasan Laursen dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam
masyarakat moderen seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya
bersama dengan teman sebaya mereka (Steinberg, 1993 : 154).
Penelitian
yang dilakukan Buhrmester (Santrock, 2004 : 414) menunjukkan bahwa pada masa
remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan
pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan remaja dengan orang tua menurun
secara drastis. Hasil penelitian Buhrmester dikuatkan oleh temuan Nickerson
& Nagle (2005 : 240) bahwa pada masa remaja komunikasi dan kepercayaan
terhadap orang tua berkurang, dan beralih kepada teman sebaya untuk memenuhi
kebutuhan akan kelekatan (attachment). Penelitian lain menemukan remaja yang
memiliki hubungan dekat dan berinteraksi dengan pemuda yang lebih tua akan
terdorong untuk terlibat dalam kenakalan, termasuk juga melakukan hubungan
seksual secara dini (Billy, Rodgers, & Udry, dalam Santrock, 2004 : 414).
Sementara itu, remaja alkoholik tidak memiliki hubungan yang baik dengan teman
sebayanya dan memiliki kesulitan dalam membangun kepercayaan pada orang lain
(Muro & Kottman, 1995 : 229). Remaja membutuhkan afeksi dari remaja
lainnya, dan membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga
membutuhkan perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi masalah, butuh
orang yang mau mendengarkan dengan penuh simpati, serius, dan memberikan
kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti rasa marah, takut,
cemas, dan keraguan (Cowie and Wallace, 2000 : 5).
Teman
sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan atau usia yang
kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok teman sebaya
adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi tentang dunia di luar
keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak menerima umpan balik dari
teman-teman mereka tentang kemampuan mereka. Anak-anak menilai apa-apa yang
mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari pada teman-temannya, sama, ataukah
lebih buruk dari apa yang anak-anak lain kerjakan. Hal demikian akan sulit
dilakukan dalam keluarga karena saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau
lebih muda (bukan sebaya) (Santrock, 2004 : 287). Hubungan yang baik di antara
teman sebaya akan sangat membantu perkembangan aspek sosial anak secara normal.
Anak pendiam yang ditolak oleh teman sebayanya, dan merasa kesepian berisiko
menderita depresi. Anak-anak yang agresif terhadap teman sebaya berisiko pada
berkembangnya sejumlah masalah seperti kenakalan dan drop out dari sekolah.
Gladding (1995 : 113-114) mengungkapkan bahwa dalam interaksi teman sebaya
memungkinkan terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi.
Proses-proses tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas
pada remaja.
Penelitian
yang dilakukan Willard Hartup (1996, 2000, 2001; Hartup & Abecassiss, 2002;
dalam Santrock, 2004 : 352) selama tiga dekade menunjukkan bahwa sahabat dapat
menjadi sumber-sumber kognitif dan emosi sejak masa kanak-kanak sampai dengan
masa tua. Sahabat dapat memperkuat harga diri dan perasaan bahagia. Sejalan
dengan hasil penelitian tersebut, Cowie and Wellace (2000 : 8) juga menemukan
bahwa dukungan teman sebaya banyak membantu atau memberikan keuntungan kepada
anak-anak yang memiliki problem sosial dan problem keluarga, dapat membantu
memperbaiki iklim sekolah, serta memberikan pelatihan keterampilan sosial.
Berndt (1999) mengakui bahwa tidak semua teman dapat memberikan keuntungan bagi
perkembangan. Perkembangan individu akan terbantu apabila anak memiliki teman
yang secara sosial terampil dan bersifat suportif. Sedangkan teman-teman yang
suka memaksakan kehendak dan banyak menimbulkan konflik akan menghambat
perkembangan (Santrock, 2004 : 352).
Konformitas
terhadap pengaruh teman sebaya dapat berdampak positif dan negatif. Beberapa
tingkah laku konformitas negatif antara lain menggunakan kata-kata jorok,
mencuri, tindakan perusakan (vandalize), serta mempermainkan orang tua dan
guru. Namun demikian, tidak semua konformitas terhadap kelompok sebaya berisi
tingkah laku negatif. Konformitas terhadap teman sebaya mengandung keinginan
untuk terlibat dalam dunia kelompok sebaya seperti berpakaian sama dengan
teman, dan menghabiskan sebagian waktunya bersama anggota kelompok. Tingkah
laku konformitas yang positif terhadap teman sebaya antara lain bersama-sama
teman sebaya mengumpulkan dana untuk kepentingan kemanusiaan (Santrock, 2004 :
415). Teman sebaya juga memiliki peran yang sangat penting bagi pencegahan
penyalahgunaan Napsa dikalangan remaja. Hubungan yang positif antara remaja
dengan orang tua dan juga dengan teman sebayanya merupakan hal yang sangat
penting dalam mengurangi penyalahgunaan Napsa (Santrock, 2004 : 283).
Memperhatikan
pentingnya peran teman sebaya, pengembangan lingkungan teman sebaya yang
positif merupakan cara efektif yang dapat ditempuh untuk mendukung perkembangan
remaja. Dalam kaitannya dengan keuntungan remaja memiliki kelompok teman sebaya
yang positif, Laursen (2005 : 138) menyatakan bahwa kelompok teman sebaya yang
positif memungkinkan remaja merasa diterima, memungkinkan remaja melakukan
katarsis, serta memungkinkan remaja menguji nilai-nilai baru dan
pandangan-pandangan baru. Lebih lanjut Laursen menegaskan bahwa kelompok teman
sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk membantu orang
lain, dan mendorong remaja untuk mengembangkan jaringan kerja untuk saling
memberikan dorongan positif. Interaksi di antara teman sebaya dapat digunakan
untuk membentuk makna dan persepsi serta solusi-solusi baru. Budaya teman
sebaya yang positif memberikan kesempatan kepada remaja untuk menguji
keefektivan komunikasi, tingkah laku, persepsi, dan nilai-nilai yang mereka
miliki. Budaya teman sebaya yang positif sangat membantu remaja untuk memahami
bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi berbagai tantangan. Budaya teman
sebaya yang positif dapat digunakan untuk membantu mengubah tingkah laku dan
nilai-nilai remaja (Laursen, 2005 : 138). Salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk membangun budaya teman sebaya yang positif adalah dengan mengembangkan
konseling teman sebaya dalam komunitas remaja.
Refrensi
:
Reivich,
K. & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for
Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New York : Broadway Books.
Santrock,
J.W. (2004). Life-Span Development. Ninth Edition. Boston : McGraw-Hill
Companies. Steinberg, Laurance. (1993). Adolescence. New York : Mc. Graw-Hill,
Inc.
Suwarjo,
(2008). Model Konseling Teman Sebaya Untuk Pengembangan Daya Lentur
(Resilience): Studi Pengembangan Model Konseling Teman Sebaya untuk
Mengembangkan Daya Lentur Remaja Panti Sosial Asuhan Anak Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Disertasi Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak
Diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar